Pendahuluan
Aqiqah, sebuah tradisi Islam yang merayakan kelahiran bayi dengan penyembelihan hewan, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya muslim di berbagai belahan dunia. Namun, di balik kemeriahan dan nilai spiritual yang melekat padanya, tersembunyi sebuah pertanyaan mendasar yang jarang diungkap: “apakah aqiqah benar-benar murni berasal dari ajaran Islam, ataukah ini merupakan adaptasi dari ritual paganisme yang lebih dahulu?”
Artikel ini akan menyelidiki sejarah dan asal usul aqiqah secara mendalam, menelusuri jejak-jejaknya hingga ke akar tradisi zaman pra-Islam, dan mengungkap kontroversi yang menyelimuti identitas sebenarnya dari ritual yang populer ini. Dengan menelaah bukti-bukti sejarah dan pandangan dari berbagai sumber, kita akan mencoba menjawab pertanyaan sulit yaitu “apakah aqiqah murni warisan Islam?”.
Aqiqah dalam Bingkai Ajaran Islam
Dalam ajaran Islam, aqiqah dipandang sebagai sunnah muakkadah, yaitu amalan yang sangat dianjurkan bagi orang tua yang dikaruniai anak. Secara bahasa, aqiqah berasal dari kata “aqqa” yang berarti memutus atau memotong. Dalam konteks ini, aqiqah dimaknai sebagai pemotongan hewan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas kelahiran sang buah hati.
Praktik aqiqah dalam Islam disampaikan oleh beberapa hadis Nabi Muhammad SAW, diantaranya:
“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, yang disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini menjadi landasan utama pelaksanaan aqiqah, yang umumnya dilakukan pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Namun, jika tidak memungkinkan, aqiqah dapat dilakukan pada hari ke-14, ke-21, atau kapan pun tersedia waktu luang.
Baca juga: Syarat Kambing Aqiqah dan Ketentuan Hewab Aqiqah sesuai Syarat
Dalam pelaksanaan aqiqah, jenis hewan yang disembelih pun telah ditentukan. Untuk anak laki-laki, disunnahkan menyembelih dua ekor kambing, sementara untuk anak perempuan cukup satu ekor saja. Daging hewan aqiqah kemudian diolah dan dibagikan kepada keluarga, tetangga, dan kaum fakir miskin. Selain penyembelihan hewan, pelaksanaan aqiqah juga meliputi pencukuran rambut bayi dan pemberian nama yang baik.
Jejak Aqiqah dalam Tradisi Arab Pra-Islam
Menariknya, pelaksanaan penyembelihan hewan sebagai bentuk syukur atas kelahiran anak ternyata telah mengakar kuat dalam tradisi masyarakat Arab jauh sebelum datangnya Islam. Masyarakat Arab Jahiliyah telah mengenal tradisi serupa, yang juga disebut dengan “aqiqah” atau nama lain seperti “atirah”.
Dalam tradisi Jahiliyah, aqiqah dilakukan dengan menyembelih hewan, biasanya kambing atau domba, untuk menyambut kelahiran bayi, terutama bayi laki-laki. Namun, terdapat perbedaan mencolok dalam praktiknya. Jika dalam Islam daging aqiqah dibagikan untuk konsumsi, dalam tradisi Jahiliyah, darah hewan sembelihan justru dilumurkan ke kepala bayi yang baru lahir.
Baca juga: Apa itu aqiqah dan bagaimana hukumnya?
Kebiasaan melumuri kepala bayi dengan darah hewan aqiqah ini memiliki akar kepercayaan paganisme yang kuat. Darah dianggap memiliki kekuatan gaib untuk melindungi bayi dari roh jahat dan memberikan keberkahan. Praktik ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan kebersihan dan menjauhi setiap bentuk khurafat.
Kontroversi dan Pertanyaan yang Mengemuka
Dengan menelusuri sejarah dan asal usul aqiqah, kita fokus pada sebuah kontradiksi yang menarik. Di satu sisi, aqiqah dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam yang sunnah. Di sisi lain, pelaksanaan serupa telah eksis dalam tradisi paganisme Arab Jahiliyah dengan praktik yang jauh berbeda dan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Kontroversi ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendasar:
- Sejauh mana aqiqah dalam Islam identik dengan tradisi aqiqah Jahiliyah? Apakah Islam hanya “memurnikan” pelaksanaan paganisme dengan menghilangkan praktik “siram darah” dan menggantinya dengan nilai-nilai keagamaan?
- Jika aqiqah memiliki akar paganisme, mengapa pelaksanaan ini tetap dianjurkan dalam Islam? Apakah ini hanya bentuk akulturasi budaya, ataukah ada nilai esensi yang lebih dalam yang dipertahankan Islam?
- Bagaimana seharusnya umat Muslim menyikapi sejarah kontroversial aqiqah ini? Apakah pelaksanaan ini tetap relevan dan bermakna di era modern, ataukah perlu adanya reinterpretasi yang lebih kritis?
Menjawab Kontroversi: Islam Memurnikan Tradisi Jahiliyah
Para ulama dan cendekiawan Muslim umumnya berpandangan bahwa Islam tidak serta merta menolak mentah-mentah tradisi masyarakat pra-Islam. Sebaliknya, Islam hadir untuk memurnikan tradisi-tradisi yang baik dan memperbaikinya sesuai dengan nilai-nilai tauhid.
Dalam konteks aqiqah, Islam memang mengakui adanya tradisi serupa dalam masyarakat Jahiliyah. Namun, Islam datang untuk mengoreksi praktik dalam pelaksanaan yang menyimpang, seperti melumuri kepala bayi dengan darah, dan menggantinya dengan praktik yang lebih manusiawi dan sesuai dengan syariat.
Baca juga: Dalil yang membahas tentang Aqiqah
Islam mempertahankan esensi aqiqah sebagai bentuk syukur atas kelahiran anak, namun mengarahkannya pada pelaksanaan yang lebih bermakna dan bermanfaat. Penyembelihan hewan aqiqah dalam Islam bukan lagi persembahan kepada dewa-dewi, melainkan ibadah kepada Allah SWT. Dagingnya pun tidak dilumurkan dengan darah, melainkan dibagikan kepada sesama sebagai bentuk kepedulian sosial.
Dengan demikian, kontroversi seputar asal usul aqiqah sebenarnya dapat dijawab dengan memahami pendekatan Islam terhadap budaya dan tradisi masyarakat. Islam tidak selalu menolak tradisi, namun selalu berusaha memurnikan dan menyesuaikannya agar sejalan dengan ajaran tauhid dan nilai-nilai kemanusiaan.
Kesimpulan
Aqiqah, dengan segala pelaksanaan dan makna yang terkandung di dalamnya, memang memiliki sejarah yang panjang dan kompleks. Menelusuri asal usulnya membawa kita pada zaman paganisme Arab Jahiliyah yang penuh khurafat. Namun, Islam hadir bukan untuk menghapus sejarah, melainkan untuk memurnikan dan menyempurnakannya.
Aqiqah dalam Islam adalah bentuk transformasi dari tradisi paganisme menuju pelaksanaan acara keagamaan yang lebih bermakna. Ia tetap mempertahankan esensi syukur atas kelahiran anak, namun mengarahkannya pada pelaksaan yang lebih manusiawi, bersih, dan sesuai dengan nilai-nilai tauhid.
Kontroversi seputar asal usul aqiqah justru menjadi pengingat bagi kita untuk memahami agama secara historis dan kontekstual. Islam tidak datang dalam ruang hampa budaya, melainkan berinteraksi dan berdialog dengan tradisi-tradisi yang telah ada. Dalam prosesnya, Islam tidak selalu menolak, namun seringkali memurnikan dan menyempurnakan, termasuk dalam pelaksanaan aqiqah.
Saat ini pelaksanaan aqiqah dianggap sebagai salah satu bentuk rasa syukur kita pada dari Allah SWT atas kelahiran buah hati kita. Pelaksanaan Aqiqah yang memudahkan Ayah dan Bunda menjadi pilihan bijak.
Oleh karena itu, Ayah dan bunda dapat konsultasi terlebih dahulu mengenai pelaksanaan aqiqah ke Wahid Aqiqah
atau dapat mengunjungi langsung website dari Wahid Aqiqah (kunjungi website).
Wahid Aqiqah akan selalu bersedia menajawab sekaligus membantu Ayah dan Bunda dalam pelaksanaan aqiqah.